“ORANG hebat tidak haus akan validasi orang lain untuk dianggap hebat.”
Kalimat tersebut makin jarang kita lihat realitasnya, terlebih di era digital sekarang ini. Semua pencapaian harus masuk ke media sosial untuk memperlihatkan bahwa kita adalah manusia yang sanggup bertahan di tengah persaingan hidup yang semakin sengit.
Misalnya saja, seorang ibu muda yang mendapatkan beasiswa S3 di luar negeri sambil membawa anak-anak yang masih kecil, menceritakan perjuangannya yang mengharu-biru berkutat dengan tugas kuliah, mengurus anak tanpa ART seperti di Indonesia, dan melakukan kegiatan bermanfaat lainnya. Dia menyebutkan perjuangannya adalah contoh bagi para perempuan agar jangan takut mengejar mimpi, termasuk untuk mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
Atau yang lebih simpel, seorang yang mengunggah videonya saat makan di tenda makan pinggir jalan sembari menyematkan caption: “Enggak masalah makan di pinggir jalan, kalau bukan kita yang bantu usaha rakyat kecil, siapa lagi? Bosen juga lah makan di fine dining resto.”
Kamus Merriam-Webster mengartikan humblebrag atau humble-bragging sebagai “membuat pernyataan atau referensi yang tampak rendah hati, kritis terhadap diri sendiri, atau santai, yang dimaksudkan untuk menarik perhatian pada kualitas atau pencapaian seseorang yang mengagumkan atau mengesankan".
Humble-bragging adalah memamerkan sesuatu dengan jalan terselubung. Berbeda dengan flexing yang terang-terangan.
Menurut dr. Ida Rochmawati, M.Sc., Sp.KJ (K) melalui akun Instagram @newidapsikiater, humble-bragging adalah cara seseorang memamerkan kelebihannya atau memamerkan sesuatu yang kemudian ditutupi dengan sikap kerendahan hati.
Psikiater Ida menambahkan, alasan umum seseorang melakukan humble-bragging adalah agar dapat menunjukkan dan mempertahankan citra melalui pamer dan rendah hati.
“Merendah untuk meninggi. Humble tapi sombong!” begitu tulis Psikiater Ida.
Bahkan disebutkan, jika perilaku itu sudah berulang-ulang, menjadi pola, menyebabkan disfungsi peran dan sosial serta berdampak pada kualitas hidup seseorang, maka humble-bragging bisa menjadi gejala tanda gangguan jiwa.
Humble-bragging sejatinya memang hak setiap orang. Namun setiap orang juga harusnya perlu refleksi diri untuk melihat apakah hal yang kita sebutkan bisa mengusik ‘sensitivitas’ orang lain. Ukurannya adalah empati.
Semakin kita berpendidikan tinggi dan berwawasan luas, seharusnya kita lebih paham bahwa mayoritas orang tidak memiliki tingkat kesuksesan yang kita miliki. Jangan sampai apa yang kita sampaikan justru membuat orang lain merasa rendah diri, dengki, atau bahkan suudzan (buruk sangka) dengan pencapaian kita.
Berempatilah dengan kondisi banyak orang yang tidak seberuntung kita. Atau, jika kita yang membaca unggahan orang lain bernada humble-bragging, stay cool…santai saja. Tak perlu kita tanggapi secara negatif. Banyak hal lebih penting yang lebih layak kita pedulikan.
KOMENTAR ANDA